Menggugurkan kandungan atau aborsi adalah perbuatan terlarang. Apalagi jika aborsi itu dilakukan akibat perbuatan zina maka jelas perbuatan tersebut lebih diharamkan lagi. Praktek aborsi semakin meningkat seiring berkembangnya teknologi komunikasi yang memudahkan kaum laki-laki dan perempuan saling berinteraksi.
Lalu bagaimana hukum aborsi sebenarnya di dalam Islam? Ketua Forum Komunikasi Dai Muda Indonesia (FKDMI) Jakarta Timur, Ustadz Asroni Al-Paroya mengatakan, melakukan aborsi adalah tindakan kriminal dan hukumnya dosa dalam Islam. Allah ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberikan rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.“ (QS. Al-Israa’ : 31)
Sementara menurut Wakil Ketua Majelis Dakwah dan Pendidikan Islam (Madani) Ustadz Ainul Yaqin, pergaulan bebas membuat hilangnya kehormatan wanita hingga berujung kehamilan di luar nikah. Kemudian pada akhirnya, sebagian secara diam-diam membunuh janinnya sendiri atau aborsi. “Dari hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, maka seringkali para anak muda terpaksa dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara mempertahankan kehamilan di luar nikah tersebut atau menggugurkannya,” ucapnya.
“Pilihan kedua banyak dianggap sebagai pilihan yang tepat demi menjaga kehormatan dirinya yang tersisa demi menutup aib dirinya (pilihan yang keliru), meski menggugurkan kandungan bisa saja membahayakan nyawanya,” ujarnya.
Dilarangnya praktek aborsi bukan hanya ditegaskan dalam syariat Islam saja, menurut hukum positif negeri ini, aborsi juga dilarang. Dalam pasal 346 KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) disebutkan: Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Hukum Aborsi Karena Alasan Tertentu
Hukum aborsi pada dasarnya adalah diharamkan. Namun dalam beberapa keadaan para ulama berselisih pendapat tentang hukum aborsi. Ada yang melarang secara mutlak, ada yang membolehkan dengan batasan dan alasan, ada pula yang sekadar memakruhkan. Namun, tidak ada yang membolehkan secara mutlak. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam melihat status kandungan dalam setiap fase pertumbuhan janin, mulai dari pasca pembuahan, fase ‘alaqah (janin yang masih berupa darah kental), mudhghah (janin yang masih berupa daging kental), dan janin yang sudah bernyawa.
Dalam melihat masalah ‘alaqah misalnya, jumhur fuqaha dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, memandangnya bukan sebagai kandungan. Sehingga wanita yang keguguran saat masih berbentuk ‘alaqah tidak dianggap nifas. Tidak bisa pula seorang wanita dijatuhi talak dengan ta‘liq melahirkan jika umur kandungannya masih berbentuk ‘alaqah. Dan iddah hamil pun tidak dianggap berakhir dengan keluarnya ‘alaqah.
Sementara ulama Maliki memandang kebalikannya. Sehingga darah yang keluar pasca keguguran yang masih berbentuk ‘alaqah dianggap darah nifas. Talak ta‘liq yang digantungkan pada kelahiran juga dianggap sah dengan keluarnya ‘alaqah. Dan iddah hamil pun dianggap berakhir dengan keluarnya ‘alaqah. (Lihat: Tim Kementerian Wakaf, al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 1420 H, jilid 5, hal. 285).
Ada pula pendapat ulama yang membolehkan karena alasan dan maslahat yang syar’i. Dalam kitab Mawsu’ah Fiqhiyah al-Islamy Batasan dan alasan tersebut dirinci sebagai berikut:
- Jika terdapat kemaslahatan menurut syara’ dalam menggugurkannya, atau bertujuan untuk menolak bahaya yang mungkin terjadi, sementara usia kehamilannya kurang dari 40 hari pertama, maka hukumnya boleh.
- Tidak boleh menggugurkan ‘alaqah (darah kental) atau mudhghah (daging kental), kecuali tim medis yang kredibel menyatakan bahwa keberadaan ‘alaqah atau mudhghah tersebut akan mengancam keselamatan jiwa ibunya.
- Setelah janin memasuki fase ketiga, tepatnya genap berusia empat bulan atau 120 hari, maka tidak boleh digugurkan kecuali tim medis terpercaya memutuskan bahwa membiarkan si janin tumbuh akan mengakibatkan kematian ibunya. Ini semata dilakukan demi menolak bahaya yang lebih besar.
- Jika hasil pemeriksaan medis memutuskan bahwa keberadaan janin cacat parah dan tidak mungkin diatasi, sehingga jika dibiarkan lahir pun hidupnya akan cacat dan menderita sehingga akan menyulitkan keluarganya, dan usia kehamilannya di bawah empat bulan, dan tim dokter juga merekomendasikan untuk menggugurkannya, maka pengguguran tersebut boleh dilakukan dengan alasan darurat. (Syekh Muhammad ibn Ibrahim, Mausu‘ah al-Fiqh al-Islami, [Beirut: Baitul Afkar ad-Dauliyyah], 2009, jilid 5, hal. 50).
Sedangkan Imam Ghazali berpendapat keharaman aborsi secara mutlak. Pendapat beliau ini dilatari oleh ayat yang melarang membunuh anak secara umum, baik anak yang sudah lahir maupun yang belum lahir, walaupun alasan yang terdapat dalam ayat tersebut hanya takut miskin atau tidak mampu menafkahi. Terlebih dalam ayat yang lain disebutkan bahwa tindakan membunuh anak termasuk perbuatan dosa besar.