Kotoran memang sesuatu yang menjijikkan tapi bagaimana jika kotoran dijadikan pupuk dan diperjual belikan, apakah dibolehkan?
Di tengah kesulitan ekonomi yang melanda banyak warga, Samsul berfikir keras bagaimana mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya. Salah satu usaha yang sekarang digelutinya selain profesinya sebagai penggembala kambing ialah menjual pupuk kandang.
Samsul menyayangkan kotoran kambing yang berserakan di bawah kandang jika dibiarkan dan tidak dimanfaatkan. Akhirnya ia pun berusaha mengolah kotoran tersebut menjadi hal bermanfaat, yaitu pupuk kandang. Dari situlah dia berusaha mendapatkan uang dan sedikit tambahan.
Namun belum juga usahanya menghasilkan banyak keuntungan, timbul desas-desus yang sampai ke telinganya tentang hukum menjual kotoran hewan yang dikatakan haram. Samsul sekarang pun kebingungan. Di tengah kebutuhan yang terus mendesak, dan sekarang usahanya dikatakan haram. Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum menjual pupuk kandang dalam Islam?
Hukum menjual pupuk kandang
Pupuk kandang adalah kompos yang terbuat dari kotoran hewan. Mengenai hukum menjual pupuk kandang maka para ulama berselisih pendapat. Sebagian mereka membolehkan praktek tersebut dan sebagian yang lain mengharamkannya.
Pendapat pertama
Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa kotoran hewan dibolehkan untuk diperjualbelikan sekalipun kotoran tersebut masih murni berbentuk kotoran. Hal itu karena terdapat manfaat dalam kotoran tersebut yang membuatnya bisa dikategorikan sebagai mal atau harta dan bisa diperjualbelikan.
Dalam mazhab Abu Hanifah barang dikategorikan sah atau tidak untuk diperjualbelikan dilihat dari statusnya sebagai mal atau harta dan kebermanfaatan barang tersebut, bukan dari sisi kesuciannya. Jika barang tersebut masuk kategori barang yang bisa dihargakan dan ada manfaatnya, maka dia boleh diperjualbelikan.
Dalam Bada’i Shana’i disebutkan bahwa dibolehkan jual beli kotoran hewan karena hal tersebut mengandung manfaat yang mubah menurut syariat sehingga dikategorikan sebagai harta yang bisa dihargakan. Adapun kotoran manusia maka tidak mubah manfaatnya kecuali jika telah tercampur dengan tanah di mana tanah tersebut lebih banyak dari kotorannya.
Hal itu karena menurut adat dan kebiasaan kotoran manusia tidak bisa dimanfaatkan kecuali jika telah tercampur dengan tanah atau pasir Dimana tanah dan pasir itu lebih banyak dari kotorannya.
Pendapat kedua
Mazhab Maliki berpendapat benda najis yang di antaranya adalah kotoran hewan tidak bisa diperjualbelikan dan tidak sah. Mazhab ini sebenarnya memiliki beberapa pendapat. Dalam Syarhul Kabir disebutkan: Dalam jual beli kotoran telah terjadi empat pendapat. Pertama ialah dilarang, kedua dimakruhkan, ketiga dibolehkan dan keempat diberikan perincian di mana boleh dalam keadaan darurat dan tidak boleh jika dalam keadaan ikhtiyar.
Namun pendapat paling rajih ialah jual beli barang najis tidak sah dalam mazhab Maliki sekalipun dalam penerapan di masalah cabang terdapat perbedaan seperti melihat keadaan yang darurat atau tidak, dan seperti melihat adanya umumul balwa (kondisi yang tidak bisa dihindari) atau tidak.
Pendapat ketiga
Mazhab Syafi’i berpendapat tidak sah dan tidak boleh jual beli kotoran hewan karena merupakan barang najis dengan mengkiyaskannya pada keharaman jual beli khamr dan bangkai karena keduanya juga merupakan barang najis.
Oleh karena itu menurut mazhab Syafi’i boleh tidaknya benda diperjualbelikan ialah dengan melihat kesucian barang tersebut atau tidak, bukan dengan melihat statusnya sebagai barang berharga atau barang yang memiliki manfaat.
Dalam Mughni Muhtaj disebutkan bahwa barang yang diperjualbelikan disyaratkan beberapa hal, di antaranya kesucian barang tersebut sehingga tidak sah jual beli anjing, khamr dan barang mutanajis yang tidak bisa disucikan seperti cuka kena najis, susu kena najis, dan minyak yang terkena najis.
Dalam Fathul Wahhab juga dijelaskan bahwa syarat barang yang ditransaksikan ada lima. Salahsatunya ialah kesucian barang tersebut dan mungkin disucikan dengan membasuhnya. Maka tidak sah jual beli barang najis seperti anjing, khamar dan selainnya dari barang yang najis dzatnya.
Dalam Muhazzab karangan Syirazi disebutkan bahwa benda itu dua macam, najis dan suci. Dan najis dibagi dua, yaitu najis dzatnya dan najis karena terkena benda najis yang lain. Adapun benda najis dzatnya maka tidak boleh diperjualbelikan seperti anjing, babi, khamr dan kotoran hewan serta yang semisalnya dari benda-benda najis.
Pendapat keempat
Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh dan tidak sah jual beli kotoran hewan karena statusnya yang najis sebagaimana bangkai dan semisalnya di mana keduanya telah dilarang oleh nash dalil.
Pendapat ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanabilah namun mereka berpendapat bahwa kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan itu boleh diperjualbelikan karena statusnya suci, seperti kotoran unta, sapi, merpati dan kambing. Adapun yang tidak boleh adalah kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan.
Kesimpulan
Menjualbelikan pupuk kandang merupakan hal yang diperselisihkan di dalam pendapat ulama antar mazhab. Hal itu berdasarkan perbedaan syarat barang yang diperjualbelikan dan juga perbedaan hukum kotoran itu sendiri, apakah dianggap najis atau tidak. Karena itu jika seseorang berprofesi sebagai penjual pupuk kandang maka hendaknya itu dijadikan sebagai sambilan dan bukan pekerjaan utama untuk menghindari silang pendapat tersebut.