Profesi Bekam

Share This Post

Kesehatan adalah nikmat termahal yang ingin dijaga semua orang. Tapi sayang mereka baru sadar hal ini setelah kesehatan itu hilang. Menjaga kesehatan adalah anjuran dalam agama islam. Karenanya Rasulullah mengingatkan bahwa kaum mukmin yang sehat dan kuat lebih dicintai oleh Allah dibanding kaum mukmin yang lemah.

Saking besarnya perhatian agama Islam terhadap kesehatan sampai-sampai kebaikan dan keutamaan seseorang diletakkan dalam kesehatan dan kekuatan orang tersebut. Semakin kuat suatu kaum maka semakin disukai oleh Allah dibanding kaum yang lemah.

Karena hal ini, maka dalam agama Islam dikenal metode pengobatan Islami yang salah satunya bekam. Metode bekam ini begitu menjamur dalam umat Islam mengingat manfaatnya yang sangat besar. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya pengobatan terbaik yang kalian lakukan adalah berbekam.” (HR. Muslim)

Tapi sekalipun bekam ini besar manfaatnya dan banyak juga kaum muslim yang memilih profesi sebagai pembekam, ternyata hukum upah sebagai pembekam masih simpang siur. Banyak orang menghindari bekam karena katanya upahnya haram, tapi banyak juga yang memilih profesi bekam karena menguntungkan. Lalu bagaimana hukum sebenarnya?

Hukum Profesi Bekam

Pengobatan alternatif dan herbal banyak dilirik dan dipilih orang sekarang. Selain karena aman dari zat kimia, juga karena pengobatan alternatif tidak banyak efek samping, apalagi pengobatan bekam yang jadi prioritas kaum muslim karena dukungan dalil.

Karenanya banyak kaum muslim yang mendalami pengobatan nabawi dan menjadikannya sebagai profesi, salah satunya bekam. Menilik lebih dalam tentang hukum bekam ternyata para ulama berselisih pendapat tentangnya.

Pendapat pertama yang merupakan pendapatnya jumhur ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali menyebutkan kebolehan dan kehalalan profesi bekam.

Sedangkan mazhab Hambali dalam sebagian riwayat dan mazhab Zahiri mengharamkan upah bekam dan menjadikannya sebagai profesi. Tapi apabila seseorang memberinya upah tanpa ada akad dan persyaratan sebelumnya maka hal itu dibolehkan. Tapi upah itu hanya digunakan sebagai modal makanan tunggangannya atau modal alat bekamnya dan tidak boleh dibelikan makanan untuk dimakan olehnya.

Dalil Para Ulama

Nabi SAW pernah mensifati upah bekam itu sebagai sesuatu yang khabits. Sebagaimana telah diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, beliau berkata Rasulullah SAW bersabda: “Pekerjaan tukang bekam itu menjijikan (khabits), dan hasil upah zina itu menjijikan (khabits).” (HR. Abu Dawud)

Jika kita melihat kepada ungkapan yang dipakai Nabi SAW yang berbunyi “Pekerjaan tukang bekam itu menjijikkan”, memang kalimat ini (menjijikkan) mengandung isyarat tahrim (pengharaman). Sebagaimana dalam sebuah ayat Allah ta’ala berfirman: “Dan Allah telah mengharamkan al-khabaits (segala sesuatu yang menjijikkan).” (QS. Al-A’raf : 157)

Oleh karena itu, sebagian ahli hadits berpendapat bahwa upah bekam haram, berdasarkan hadits di atas. Hal ini disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Awthar.

Adapun jumhur ulama (Mayoritas ulama) berpendapat, bahwa upah bekam hukumnya makruh. Dan makruh, masih termasuk katagori halal. Dan ini merupakan pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini. Bahkan telah terjadi ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini sebagaimana yang akan disebutkan.

Mereka menyatakan bahwa hadits di atas yang secara asal memberikan makna haram (karena disebut dengan khabits/menjijikkan), telah dipalingkan dari hukum haram oleh dalil-dalil lain kepada makna mubah (boleh).

Diantaranya, hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Rasulullah SAW berbekam, lalu memberikan upah kepada tukang bekam(nya). Seandainya beliau SAW mengetahui hal itu (upah bekam) merupakan sesuatu yang khabits (menjijikkan), beliau tidak akan memberikannya.” (HR. Abu Dawud: 3432)

Diriwayatkan pula dari hadits Anas bin Malik beliau berkata: Abu Thaibah membekam Rasulullah SAW. Maka beliau  memerintahkan agar dia diberi satu sha’ (ukuran waktu itu) buah kurma, dan memerintahkan keluarganya (maksudnya: majikan-majikannya. Karena dia waktu itu sebagai budak) agar meringankan upeti darinya.” (HR. Abu Dawud: 3424)

Dua hadits di atas menunjukkan, bahwa Nabi SAW memberi upah kepada orang yang membekamnya. Seandainya haram, sudah barang tentu beliau tidak melakukannya. Ada suatu kaidah berbunyi: “Pekerjaan apa saja yang haram dilakukan bagi orang yang mengambil upahnya, maka juga haram untuk menyerahkan upah kepada orang yang memberikan pekerjaan itu.”(Al-Hawi Al-Kabir: 15/154)

Pengarang Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud berkata: Mayoritas ulama berpendapat, sesungguhnya (hasil dari profesi tukang bekam) adalah halal. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas dan hadits Anas bin Malik yang akan kami sebutkan berikut di dalam Bab ini. Mereka menyatakan: Sesungguhnya yang dimaksud dengan “khabits” di dalam ucapan beliau SAW: ”Pekerjaan tukang bekam itu khabits”, adalah makruh tanzih, karena pekerjaan itu rendah dan hina, bukan haram. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah ta’ala: “Janganlah kamu memilih yang jelek-jelek/ rendah lalu kamu infakkan daripadanya. Allah menamakan harta yang bernilai rendah dengan khabits.”( Aunul Ma’bud: 9/209)

Bolehnya menerima upah bekam, telah terjadi sejak zaman Nabi dan terus berlangsung dari masa ke masa sampai zaman kita saat ini. Tanpa ada pengingkaran sama sekali. Maka ini dinamakan ijma amali (kesepakatan ulama dalam bentuk amaliah).

Al-Imam Utsman bin Ali Az-Zaila’i (wafat: 743 H) berkata: “(Dan tukang bekam), artinya boleh untuk mengambil upah dari bekam berdasarkan apa yang diriwayatkan: Sesungguhnya beliau SAW berbekam dan memberi upah kepadanya (orang yang membekam beliau). Karena manusia telah saling mengetahui (bolehnya hal ini) dari sejak zaman Nabi sampai zaman kita sekarang ini. Maka telah terjadi ijma’ secara amaliah.” (Tabyinul Haqaiq Syarhu Kanzil Daqaiq: 5/124)

Dalam Hasyiyahnya (catatan ringannya) terhadap kitab Tabyinul Haqaiq, Al-Imam Asy-Syibli rahimahullah (wafat : 1021 H) menambahkan penjelasan tentang hal ini dengan membawakan suatu kaidah. Beliau berkata: “(Dibolehkannya menerima upah bekam) karena hal itu merupakan pekerjaan yang telah dimaklumi, bahwa diperbolehkan untuk mengambil haknya (dari pekerjaan itu). Maka boleh untuk menbambil upah atasnya, sebagaimana seluruh jenis pekerjaan.” (Hasyiyah Asy-Syibli: 5/124)

Kesimpulan

Pekerjaan bekam paling tinggi hukumnya makruh, tidak sampai haram. Ini merupakan pendapat mayoritas Ulama. Dan makruh, masih masuk katagori mubah (boleh). Jika seorang mampu untuk mencari pekerjaan selainnya, maka itu lebih utama. Jika belum, maka tidak masalah untuk melakukannya dan menerima upah darinya. Ini merupakan ijma’ (kesepakatan ulama’) secara amaliah. Adapun imam Abu Hanifah dan Malik secara tegas menyatakan akan kebolehannya.

Sedangkan pendapat yang mengharamkan adalah pendapat yang tidak tepat, bahkan bisa dikatakan syadz (ganjil). Karena hanya melihat dari satu dalil saja, tanpa melihat kepada dalil lain dalam masalah tersebut.

More To Explore

Bersama Koinmu,
Darul Hisan Hadir untuk Ummat