Sudah menginjak usia 5 tahun ini Ahmad hidup di kota besar, tentu banyak perbedaan yang ia alami semenjak perpindahannya dari kota kecil. Terutama pada segi fasilitas pelayanan umum, semua tersedia dan lebih dimudahkan dalam mengakses. Banyak pilihan yang bisa diambil manakala dibutuhkan. Tentu ini akan menunjang perjalanan hidup yang lebih baik. Salah satunya rumah sakit.
Dari tipe terendah hingga tertinggi rujukan nasioanl tersedia di kota ini, lengkap dengan fasilitas penunjangnya. Sudah pasti setiap orang yang bisa mengakses (memiliki biaya) sangat mudah menentukan mana rumah sakit yang akan dituju. Disisi lain, pemerintah juga mensupport ketersediaan rumah sakit dengan berbagai tipe bagi warga kurang mampu dengan program Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) misalnya. Jadi semua bisa menikmati ketersediaan rumah sakit bagi setiap golongan masyarakat.
Mengenai fasilitas penunjang, meski tergantung pada tipe rumah sakit namun pada rumah sakit tertentu memiliki layanan penunjang lain yang lebih komplit. Terutama diperuntukkan bagi pasien jalur umum, atau non BPJS. Biasanya model rumah sakit yang demikian dimiliki oleh rumah sakit swasta non Islam atau kristen. Karena wujudnya rumah sakit yang mensyaratkan bisa diakses oleh semua masyarakat tanpa memandang kelas sosial dan agama, tidak sedikit orang Islam yang kemudian berobat di rumah sakit ini. Terlebih di kota besar, hal yang semacam ini cenderung diabaikan.
Namun sepertinya Tidak dengan Ahmad. Sudah beberapa kali ia dan keluarganya dicoba Allah dengan sakit, bahkan dua kali persalinan kelahiran istrinya tetap menggunakan layanan rumah sakit islam. Padahal rumah sakit islam yang dituju bertipe dan berfasilitas layanan penunjang tidak lebih baik dari rumah sakit kristen. Persis seperti yang sudah dijelaskan di awal. Ahmad pun tidak lantas berpindah ke lain hati, sempat terlintas dibenaknya saja tidak pernah.
Jika dihitung hitung, total akses layanan di rumah sakit tersebut sudah dilakukannya setidaknya sebanyak 5 kali. Untuk dirinya, persalinan istrinya dua kali, rawat inap anaknya dua kali. Sekali pernah tidak di rumah sakit islam, namun lebih memilih di rumah sakit daerah.
Bukan tanpa sebab, apa yang dilakoni Ahmad sesungguhnya bagian dari apa yang diperintahkan oleh agamanya yakni Islam. Lebih memilih layanan yang dimiliki umat islam tentu ini bagian dari izzahnya terhadap syariat agamanya. Ia mencoba meneguhkan hatinya untuk melakukan ketaatan pada Allah. Dan meneguhkan hatinya dalam rangka mengahan diri bermaksiat kepadaNya. Jelas maksiat, kecuali bila di kota tempat tinggal Ahmad tidak ada sama sekali rumah sakit Islam. Atau rumah sakit yang dimiliki oleh orang Islam.
Jadi jelas, prinsip Ahmad berdasar. Lagi pula, sakit atau kebutuhan layanan kesehatan keluarga Ahmad termasuk kategori umum yang rata rata dimiliki fasilitas layanannya oleh umumnya rumah sakit. Kecuali juga bila kondisinya darurat, seperti penyakit berat yang fasilitas penunjangnya hanya dimiliki oleh reumah sakit kristen. Itu pun tidak pernah.
Ia pun tetap tegar menghadapi cobaan sakit dari Allah dengan memilih rumah sakit islam meski ada beberapa teman dan saudara untuk menyarankan mengambil layanan rumah sakit kristen. Alasannya agar proses kesembuhannya lebih cepat. Dan hal ini pun tidak membuat Ahmad kemudian bergeming dari pilihan awalnya. Selain karena prinsip sama sama dari agama yang sama, secara otomatis segala layanan medis dan non medis sudah disesuaikan dengan syariat islam oleh rumah sakit tersebut. Taruhlah contoh, penggunaan hijab bagi tenaga medis perempuan. Penjagaan kesucian tempat meski bukan pada mushola. Hal ini menjadikan Ahmad lebih tenang menggunakan layanan rumah sakit islam. Bahkan saat ini rumah sakit islam juga berlomba lomba meningkatkan kualitas layanannya berdasar standar rumah sakit syariah, yang banyak layanannya mensyaratkan berbasis syariat islam. Semakin mantablah Ahmad.