Pendisiplinan terhadap murid oleh guru di era sekarang ini begitu berbeda dengan masa lalu. Menjadi hal lumrah pada jaman dulu bila dijewer, bahkan dipukul oleh guru dalam rangka pendisiplinan. Bahkan ketika pulang sekolah lapor orang tua justeru akan ditambah hukumannya, itu sebab orangtua jaman dahulu paham bahwa pendisiplinan itu baik dan sadar tidak mungkin guru yang mendisiplinkan bertindak semena-mena.
Lantas bagaimana dengan sekarang? Kini para guru tidak sedikit yang terlanjur ‘apatis’ dengan kondisi anak didiknya. Bagaimana tidak, banyak viral kasus guru berujung di meja hijaukan oleh para orangtua murid karena diketahui mendisiplinkan anaknya. Dan itu hampir merata terjadi di wilayah negara ini. Padahal sebabnya karena anak itu sendiri yang sulit untuk didisiplinkan. Adab dan akhlaq anak yang terdekadensi secara moral. Alhasil, tak ada pendisiplinan, kadang menegur pun jadi enggan. Padahal sifat dan karakter serta kondisi anak didik tidaklah sama, lantas mau bagaimana hasil pendidikannya?
Jadi daripada repot, para guru memilih fokus ke aktivitas pembelajaran yang menitikberatkan pencapaian target kognitif semata. Tak ambil pusing pengemblengan mental dan penegakkan disiplin. Dapat dibayangkan apabila hal tadi terjadi. Dampaknya pendidikan dan penguatan karakter kurang diperhatikan. Kalau sudah begini mau salahkan siapa?
Mendidik Tak Mudah
Bicara pendekatan hukuman siswa didik juga mengalami perkembangan signifikan sehubungan dialektika ilmu mendidik yang terus berkembang. Satu sisi pertanda baik tapi sisi lain berpotensi mengorbankan penegakan kedisiplinan. Sulit bicara disiplin tanpa penerapan konsep reward dan punishment; penghargaan dan hukuman. Nabi Muhammad SAW saja bersabda: “Suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat di umur 7 tahun, dan pukul mereka karena meninggalkan shalat di usia 10 tahun” (HR. Abu Dawud). Memang idealnya dunia pendidikan hendaknya dipenuhi pendekatan persuasif. Tapi bukan berarti mengenyampingkan hukuman.
Tanpa bermaksud membenarkan penggunaan hukuman fisik di dunia pendidikan, membentuk karakter baik dan disiplin tak semudah retorika. Selain itu, hukuman dimaksud disini berorientasi mendidik. Bukan keras apalagi sampai menciderai. Karena tabiat manusia beragam. Ada yang mudah menerima nasehat dan ada yang mesti diberi stimulus. Kalau upaya mendisiplinkan dan membenarkan yang keliru cukup modal persuasif, lantas apa guna penjara?
Peraturan perundang-undangan sebenarnya sudah menjamin hak guru. Termasuk menegur dan menghukum murid ketika berbuat salah dan melanggar norma/peraturan meski terkadang keluarga murid tak terima. Semisal pasal 39, 40, dan 41 Peraturan Pemerintah No. 74/2008 tentang kebebasan guru dalam memberikan sanksi, dan jaminan rasa aman dari pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
Sinergi Orangtua dan Sekolah
Intinya lingkungan keluarga mengaku menyerah, kewalahan dan kesulitan tanpa keterlibatan satuan pendidikan. Bagaimana pun sekolah, madrasah dan sarana pendidikan lainnya bagian tak terpisahkan dan efektif membentuk kedisiplinan anak. Dan penting untuk diingat bahwa tanggung jawab utama pendidikan anak itu bukan pada pendidik di sekolah namun orangtua. Titik. Jadi sebenarnya tugas guru hanya membantu peran orangtua dalam hal mendidik anak.
Bila ini sudah dipahami betul oleh para orangtua insya Allah tidak lagi ada berita kriminalisasi para guru. Orangtua bisa lebih memahami apa yang harus dilakukan guru ketika menghadapi anak. Cara yang paling efektif adalah dengan sesering mungkin menjalin komunikasi antara sekolah dalam hal ini adalah guru dengan orangtua. Bagaimana mengetahui perkembangan anak setiap periodenya, bagaimana memecahkan masalah bersama antara di sekolah dan di rumah terkait problem yang sedang dihadapi anak.