Adalah Hermanto, seorang bapak rumah tangga berusia muda 30 tahun. Sejak resign dari tempatnya bekerja di sebuah pabrik, kini ia memilih mencari penghasilan dengan menjadi driver ojek online (ojol). Semenjak menjadi driver ojol ia agak berubah dalam kesehariannya ketika di rumah, ia semakin jarang terlihat nongkrong seperti tetangganya yang lain. Terlebih semenjak istrinya diketahui hamil anak keduanya.
Ternyata alasan Hermanto jarang nongkrong adalah sebab ia menambah jam kerjanya dalam menjadi driver ojol. Setelah seharian mengaspal di jalanan, sore ia pulang ke rumah. Selepas maghrib kemudian ia berangkat lagi untuk mengaspal hingga pulang kembali sekitar pukul sembilan malam.
Tentu bagi sebagian orang, durasi jam kerja seperti itu dengan berangkat pagi dari jam 7 terbilang terlalu lama. Bahkan tak sedikit yang kemudian berkomentar, “ngoyo..” atau memaksakan diri sebab umumnya orang kerja dalam sehari hanya 8 jam saja. Sedangkan Hermanto bisa mencapai 12-13 jam dalam sehari, itu pun masih berangkat mengaspal di hari Ahad. Wajar jika ada yang berkomentar, “ngoyo..”, terlebih di hari Ahad yang umumnya orang cenderung memilih santai di rumah menikmati hari libur.
Soal tanggungjawab laki-laki
Disinggung mengenai jam mengaspal ojolnya Hermanto hanya menjawabnya dengan santai. Ia pun tak kemudian menyayangkan kepada tetangganya yang menilai kurang pas pada dirinya. Hermanto cendrung bersikap cuek dengan anggapan-anggapan seperti itu dan lebih memilih kembali mengaspal seperti biasanya serta tetap bergaul interaksi dengan tetangganya seperti biasa.
“Saya punya tanggungjawab banyak, cicilan rumah, cicilan kendaraan, dan itu belum termasuk kebutuan rumah tangga kami dan sekolah anak. Istri juga lagi hamil, tentu pos penghasilan hanya dari saya saja. Ya kalau saya tidak begini mana cukup pak…” jelas Hermanto.
Dasar pemenuhan kebutuhan hidupnyalah yang menjadi alasan mengapa ia seperti kerja kejar setoran setiap hari. Namun nampaknya ia tak menganggap seperti itu. Sebab menurutnya, kondisi begini dengan kerja siang malam sudah menjadi konsekwensi tanggungjawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga. “Ya yang namanya saja suami sebagai kepala rumah tangga pak.. bagaimana pun caranya kalau untuk memenuhi kebutuhan keluarga sudah menjadi tanggungjawabnya. Wong lanang og.. (laki-laki kok-red),” tegasnya.
Bekerja itu ibadah
Manusia dengan tugas abadinya sebagai khalifah sekaligus abdullah dituntut untuk benar-benar mengisi kehidupan ini sesuai dengan tuntunan syariah-Nya. Tidak berlebihan jika kemudian atas dasar ingin menetapi syariat Allah dan Rasul-Nya kemudian dikatakan, “Hidup adalah perjuangan. Hidup adalah jihad, atau hidup adalah pilihan.” Termasuk ketika bekerja yang dikonotasikan sebagai sebuah ibadah bahkan bermuatan jihad.
Rasulullah bersabda, “Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya (bekerja) sendiri. Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR. Ibnu Majah). “Sesungguhnya Nabi Musa as. mempekerjakan dirinya sebagai buruh selama delapan tahun atau sepuluh tahun untuk menjaga kehormatan dirinya dan untuk mendapatkan makanan (halal) bagi perutnya.” (HR. Ibnu Majah).
Bahkan lelahnya bekerja itu memiliki keutamaan sendiri. Dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang di waktu sore merasa capek (lelah) lantaran pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) maka di saat itu diampuni dosa baginya.” (HR. Thabrani). Mengaja dari hadits di atas, tentu wajar bila Hermanto bekerja dengan giatnya, sebab ia sadar bahwa tanggungjawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga begitu besar.