Sewaktu pergi ke pasar ada anak kecil lagi menangis-nangis. Dia menarik-narik baju ibunya karena tidak dibelikan marus.
Ya, marus atau darah yang dimasak merupakan salah satu makanan kuliner yang ada di Indonesia. Kalau kita pergi ke pasar, maka akan banyak pedagang yang salah satunya adalah pedagang marus. Makanan ini konon nikmat sehingga digemari orang. Biasanya selain dimakan langsung, kadang marus juga diiris-iris dan dijadikan toping makanan. Rasanya mirip dengan ampela, tapi ini marus.
Kita harus hati-hati dan pintar-pintar supaya bisa membedakan mana ampela dan mana marus. Karena hukum makan marus diharamkan tidak seperti makan ampela.
Marus Diharamkan
Islam melarang mengonsumsi atau memakan darah. Surat al-Maidah menjelaskan ketentuan perihal makanan yang haram dikonsumsi, salah satunya adalah darah sebagaimana al-Maidah ayat ketiga, “Diharamkan bagimu memakan bangkai dan darah.” (QS. Al-Maidah: 3)
Pelarangan memakan darah ini mencakup juga marus karena redaksinya umum sehingga mencakup darah apa pun yang dimasak dengan direbus, digoreng atau dibakar, atau darah mentah yang dimakan langsung.
Kebiasaan Jahiliyah
Berbagai kitab tafsir menjelaskan bahwa masyarakat Arab Jahiliyah dahulu suka memakan darah. Mereka menuang darah hewan ternak pada usus lalu membakarnya, kemudian memakannya ketika masak. Kemudian Allah mengharamkan praktek memakan darah pada era Islam.
Al-Alusi dalam kitab tafsirnya menyebutkan orang Arab Jahiliyah mereka mengambil darah dari hewan-hewan ketika disembelih lalu meletakannya di bejana dan mangkok lalu memanggangnya atau menggorengnya dengan api. Mereka memakannya dan menamakannya al-fashiid.
Hikmah Pengharaman Darah
Pengharaman darah ditegaskan lagi dengan hikmah dibaliknya, yaitu suatu maslahat bagi manusia itu sendiri, karena darah ternyata mengandung kuman dan sarang bakteri.
Az-Zuhaili dalam tafsirnya menyebutkan: Hikmah penyembelihan hewan adalah penjagaan atas kesehatan manusia secara umum dan penolakan mudharat dari tubuh manusia dengan memisahkan darah dari daging hewan dan menyucikannya dari darah karena mengonsumsi darah yang mengalir hukumnya haram karena membahayakan manusia; karena darah merupakan sarang kuman dan bakteri.
Al-Alusi juga menyebutkan hikmah lainnya: Hikmah keharaman darah ialah karena ia termasuk makanan menjijikan bagi orang yang bersih jiwanya. Meminumnya atau memakannya bisa menyebabkan mudarat bagi manusia. Terlebih lagi makan darah bisa mengeraskan hati dan perangai manusia sehingga seperti binatang buas. Hal ini bertentangan dengan tujuan syariat yang bermaksud menyempurnakan akhlak mulia manusia.
Darah yang Halal Dimakan
Dalam surah al-Maidah ayat tiga tadi disebutkan bahwa: Diharamkan bagimu memakan bangkai dan darah. (QS. Al-Maidah: 3). Redaksinya berlaku umum sehingga ayat ini menunjukkan keharaman semua darah.
Akan tetapi keumuman ini dikhususkan dengan hadits. Di antaranya ialah hadits dari Aisyah berikut, ia berkata: Kami dahulu memasak daging di kuali pada masa Rasulullah SAW. Ketika mendidih warna airnya dan dagingnya berubah menjadi kuning disebabkan darah yang tersisa di dalamnya. Lalu kami memakannya dan tidak ada orang yang mengingkarinya.
Artinya darah yang tersisa di daging, atau di sela-sela tulang yang sulit dibersihkan, maka itu halal dimakan karena ta’adzur (menyulitkan). Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan, “Dan adapun darah yang tersisa pada daging, tulang dan gajih dari hewan sembelihan maka itu najis yang dimaafkan.”
Lalu pengecualian berikutnya ialah darah yang mengeras, atau mengental, yang tak lain ialah ati ampela. Maka boleh dimakan. Rasulullah bersabda: “Telah dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang; dan dua macam darah adalah hati dan limpa. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Hanya Darah Memancar yang Haram
Keharaman makan darah setelah dua pengkhususan di atas hanyalah untuk darah masfuh, atau darah yang memancar. Apa itu darah masfuh? Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan: “Darah yang memancar adalah darah yang keluar dari binatang sebelum dia mati.”
Misalnya hewan hidup yang ditusuk pahanya, kemudian mengeluarkan darah. Oleh sebagian orang, darah ini ditampung untuk dikonsumsi. Sementara hewannya masih dibiarkan hidup. Ini adalah kebiasaan sebagian masyarakat jahiliyah. Dan ini adalah darah masfuh dan hukumnya haram.
Darah masfuh bisa juga darah yang memancar ketika hewan baru disembelih. Selama hewan ini belum mati total, darah yang keluar ini tergolong Ad-Dam Al-Masfuh (darah yang memancar). Al-Alusi menyebutkan: Darah masfuh ialah darah yang mengalir dan memancar dari hewan setelah penyembelihan.
Marus Termasuk Darah Masfuh
Jadi dari uraian ini jelaslah bahwa marus adalah haram sebab berasal dari darah masfuh, di mana dia merupakan darah yang dikumpulkan dari hewan saat penyembelihan, lalu dibiarkan hingga mengental dan dimasak.