Berinteraksi dengan nonmuslim menjadi permasalahan yang perlu diketahui karena sekarang kita bagaikan hidup di satu tempat yang saling berbaur.
Saling sapa dan saling tegur dengan nonmuslim menjadi keniscayaan yang sulit dihindari, apalagi jika kita hidup di Indonesia yang penduduknya memeluk aneka agama. Kadang kita bertetangga dengan orang beragama Nasrani, atau punya saudara ipar beragama Hindu dan sebagainya.
Saat itu kita menyadari bahwa mengatur tata cara pergaulan dengan mereka amatlah penting. Karena di satu sisi mereka adalah kafir, namun di sisi lain mereka adalah tetangga kita yang layak kita jaga hubungannya dengan baik. Maka para ulama telah menyebutkan terkait bagaimana hukumnya memberi salam kepada nonmuslim. Apakah hal itu dibolehkan atau dilarang?
Hukum memberi salam nonmuslim
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum memberi salam kepada nonmuslim menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama menyebutkan bahwa memulai salam kepada nonmuslim diharamkan akan tetapi menjawab salam mereka diwajibkan. Ini adalah pendapat Imam Nawawi dan mayoritas mazhab Syafi’i serta kebanyakan ulama.
Pendapat kedua menyebutkan bahwa memulai salam ke nonmuslim itu dibolehkan, begitu pula membalas salam mereka dan tidak diwajibkan. Ini disebutkan oleh Imam Nawawi sebagai pendapat kebanyakan ulama salaf, yaitu yang diriwayatkan sebagian shahabat, dan termasuk salah satu pendapat dari mazhab Syafi’i.
Pendapat ketiga menyebutkan bahwa dibolehkan memulai salam kepada nonmuslim asalkan ada maslahah atau kebutuhan yang mendesak, atau karena faktor kedekatan dan sebab lainnya. Namun jika tidak terdapat alasan ini maka tidak boleh memulai salam kepada mereka. Ini merupakan pendapat beberapa ulama.
Dalil para ulama
Masing-masing ulama melandaskan pendapatnya atas dalil yang mereka yakini. Berikut beberapa dalil yang mereka pakai dalam pendapat mereka. Pendapat yang melarang salam ke nonmuslim berdalil dengan hadits Abu Hurairah di mana Nabi bersabda: “Jangan kalian mengawali mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani. Jika kalian berjumpa salah seorang di antara mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim no. 2167). Hadits ini jelas menunjukkan larangan muslim memulai salam kepada nonmuslim baik Yahudi atau Nasrani dan ini merupakan bentuk pelarangan dengan makna secara langsung.
Sedangkan kelompok yang membolehkan seorang muslim mengucapkan salam berdalil dengan keumuman ayat yang memerintahkan berbuat baik dan ihsan kepada nonmuslim yang tidak memerangi kita. Allah ta’ala berfirman: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Dalam ayat ini Allah memberikan keringanan untuk menjalin silah dan kekerabatan dengan nonmuslim yang tidak memerangi, dan memusuhi umat Islam, apalagi jika nonmuslim tersebut masih kerabat dan saudara mereka. Al-Qurthubi dalam Tafsirnya menyebutkan tentang riwayat Ibnu Uyainah di mana beliau ditanya: Apakah boleh mengucapkan salam kepada kafir? Beliau menjawab: Boleh, sebagaimana Nabi Ibrahim yang berkata kepada bapaknya yang kafir: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam: 47)
Pendapat yang membolehkan salam juga berdalil dengan keumuman hadits yang menganjurkan memberi salam. Nabi SAW bersabda ketika ditanya tentang bagaimana Islam yang terbaik, beliau menjawab: “Engkau memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau ketahui dan yang tidak.” (Muttafaq Alaih)
Bantahan antar pendapat
Dalil pendapat pertama, yaitu kelompok yang melarang mengucapkan salam dibantah oleh kelompok kedua bahwa dalil hadits yang melarang salam adalah lemah dari segi sanad dan matannya. Hal itu karena dalam hadits tersebut terdapat perawi Suhail bin Abi Shalah yang dikomentari negative oleh beberapa ulama.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam biografinya menyebutkan: Dia orang terpercaya akan tetapi hafalannya mengalami perubahan ketika di akhir masa hidupnya. Al-Hafizh Az-Zhahabi juga menyebutkan: Suhail adalah ulama hadits yang terkemuka akan tetapi dia menderita penyakit yang membuat hafalannya berubah. Abu Hatim Ar-Razi menyebutkan: Hadits riwayat Suhail ditulis akan tetapi tidak dianggap hujah.
Dari segi matan pun terjadi idhtirab, atau ketidak konsistenan. Sebagian matan menyebutkan: kalau kalian bertemu ahli kitab. Sebagian lagi menyebutkan: kalau kalian bertemu yahudi. Dan sebagian lagi: kalau kalian bertemu mereka, tanpa menyebutkan satu jenis pun dari nonmuslim.
Dan pendapat pertama juga membantah pendapat kedua yang membolehkan salam kepada nonmuslim. Mereka menyebutkan bahwa keumuman hadits tentang salam hanya dijadikan hujah selama tidak ada dalil lain yang mengkhususkannya. Adapun ketika sudah ada dalil yang mengkhususkan, maka hukumnya hanya berlaku kepada orang yang tidak dikhususkan saja.
Dalam ayat atau hadits yang menganjurkan salam itu bersifat umum, maka pada hakikatnya itu telah dikhususkan dengan sabda Nabi yang melarang memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Artinya dua kelompok ini sudah tidak dianjurkan lagi mengucapkan salam kepada mereka, akan tetapi hanya kepada kaum muslimin semata.
Kesimpulan
Meski terjadi perselisihan di antara para ulama terkait mengucapkan salam kepada nonmuslim, hal itu tidak menghalangi kita berbuat baik kepada mereka selama mereka tidak memerangi kita dalam berbagai bentuk lainnya, seperti tegur sapa, menanyai kabar dan memberikan hadiah untuk menarik hati mereka kepada hidayah dan ajaran Islam.