Hukum Menentukan Bulan Dengan Hisab

Share This Post

Menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal sebenarnya sama dengan awal bulan lain. Akan tetapi dua bulan ini sangat besar menarik perhatian kaum muslimin.

Ya, bulan Ramadhan dan Syawal adalah bulan yang mengandung amaliah agung bagi umat Islam. Dalam bulan Ramadhan terdapat puasa yang merupakan rukun Islam ketiga dan di awal bulan Syawwal adalah waktu kaum muslimin berbondong-bondong merayakan hari raya.

Perhatian kaum muslimin pada dua bulan tersebut semakin besar manakala mereka harus menanti hasil sidang itsbat hilal pemerintah dan membandingkannya dengan hasil hisab dari ormas Muhammadiyah. Ya, terkadang hasil dua sidang ini berbeda dan sering menimbulkan keresahan masyarakat.

Muhammadiyah cenderung menggunakan metode hisab dan bukan dengan rukyat hilal. Padahal yang digunakan pemerintah ialah imkanur ru’yat hilal. Lalu bagaimana sebenarnya hukum penetapan bulan dengan hisab, apakah dibolehkan atau tidak?

Hukum penetapan bulan dengan hisab

Metode hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam penentuan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah. Metode ini merupakan salah satu metode penetapan bulan. Namun para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan penggunaan metode ini. Mereka setidaknya terbagi dalam dua kelompok yang berseberangan.

Kelompok pertama

Pendapat pertama mengatakan ketidakbolehan penggunaan metode hisab untuk menetapkan awal bulan hijriyah. Akan tetapi yang dibolehkan ialah menetapkan awal bulan dengan rukyatul hilal atau melihat wujud hilal. Dan jika tidak dimungkinkan melihat hilal maka melengkapkan bulat tersebut menjadi 30 hari dan setelahnya baru masuk bulan berikutnya. 

Pendapat ini merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Hanabilah, dan hampir mayoritas ulama yang lain. Jadi bisa dikatakan pendapat pertama ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Kelompok kedua

Pendapat kedua mengatakan bahwa dibolehkan penggunaan hisab, yaitu dengan mengetahui kedudukan astronomi bulan untuk menentukan masuknya awal bulan hijriyah. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari Muthorrif bin Abdullah, Ibnu Qutaibah dan Ibnu Suraij.

Dalil kelompok pertama

Kelompok pertama yang melarang penggunaan hisab berdalil dengan sabda Rasulullah SAW, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih)

Hadits ini menunjukkan bahwa agama Islam mengaitkan penetapan puasa dan hari raya Idul Fithr dengan dua hal tanpa ada yang ketiganya. Yaitu dengan melihat adanya hilal atau jika tidak maka dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Dan penetapan ini dengan tertib, artinya tidak bisa kita tidak bisa menetapkan awal bulang langsung dengan menggenapkan bulan sebelumnya 30 hari kecuali jika hilal terhalang dan tidak terlihat. Tapi jika terlihat maka harus dengan hilal terlebih dahulu.

Di sini tidak disebutkan metode penetapan dengan hisab. Padahal jika hal itu dibolehkan maka pastinya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan menyebutkannya mengingat kebutuhan manusia yang besar akan hal tersebut. 

Rasulullah SAW juga bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan: “Tidaklah mereka para shahabat mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu alaihi wasallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru dalam masalah ini.”

Dalil kelompok kedua

Dalil kelompok kedua yang membolehkan hisab adalah sabda Rasulullah SAW: “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka perkirakanlah.” (Muttafaq Alaih)

Bunyi hadis ‘maka perkirakanlah’ maksudnya bukan menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30, tapi dengan memperkirakan menggunakan metode hisab. Dalil lain kelompok ini bahwa ru’yat hilal itu penetapan bulan yang tidak pasti alias masih zhanni, karenanya jika sebagian orang melihat hilal maka belum tentu sebagian yang lain melihatnya, sedangkan penetapan dengan hisab itu pasti alias qath’i. Dan yang pasti lebih diutamakan atas yang zhanni.

Kesimpulan

Melihat perbedaan ulama demikian maka kita masyarakat Indonesia yang merasakan langsung efeknya tentu kebingungan. Untuk lebih mudahnya maka kita harus membuang ego kita masing-masing dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Jika sudah demikian dan kita masih berbeda, maka sebaiknya kita mengikuti arahan ulil amri setempat. Wallahu A’lam.

More To Explore

Bersama Koinmu,
Darul Hisan Hadir untuk Ummat