Bagaimanakah hukum mengirim uang antarnegara di mana serahterima tidak dilakukan dengan langsung? Apakah dibolehkan menurut syariat Islam?
Bekerja di luar negeri adalah pekerjaan yang banyak dilakukan masyarakat Indonesia. Ketika mereka bekerja maka mereka ingin mengirimkan sebagian jerih payahnya untuk keluarga yang ada di Indonesia. Karena itu dia memerlukan transfer luar negeri atau valuta asing dari lembaga keuangan yang tersedia.
Sebagai contoh Karim sudah bekerja sekian tahun di Riyadh, Arab Saudi. Ia ingin mengirim uang ke Indonesia sebanyak 1.000 riyal Arab Saudi. Lalu Karim mendatangi salah satu bank yang ada di Riyadh dan menyerahkan uang 1.000 riyal ke pegawai bank untuk ditransfer ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Pegawai bank menentukan kurs di hari itu, yaitu 1 riyal Saudi ternyata sama dengan 3.000 rupiah. Berarti uang yang akan diterima keluarga Karim adalah 3 juta rupiah.
Karim pun menyerahkan uangnya ditambah biaya administrasi untuk jasa pengiriman tersebut. Setelah itu bank di Riyadh tersebut memberikan perintah kepada bank korespondennya yang ada di Indonesia untuk menyerahkan uang sebanyak 3 juta rupiah untuk keluarga Karim yang sudah tertera namanya di slip transfer dan keluarga Karim sudah bisa mengambilnya di bank tersebut.
Dari gambaran ini maka jelas bahwa serah terima uang riyal dan rupiah tidak terjadi secara langsung, akan tetapi terdapat jeda beberapa hari. Lalu bagaimanakah hukumnya? Apakah ini termasuk riba karena serah terima uang tidak kontan atau bukan?
Hukum transfer antar negara
Mengutip buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr. Erwandi dijelaskan bahwa para ulama berselisih pendapat tentang hukum transfer antar negeri. Sebagian mereka menghukumi transaksi ini termasuk riba bay’, alias riba jual beli karena tidak terjadi serah terima fisik uang yang ditukarkan secara tunai pada saat transaksi berlangsung. Padahal dua mata uang termasuk komoditi riba yang sama sifatnya, yaitu sebagai mata uang.
Para ulama tersebut mengharamkannya karena transaksi ini melanggar kaidah penukaran komoditi riba. Maka dengan demikian transaksi ini termasuk riba bay’i. Pendapat ini didukung oleh Syaikh Shalih Fawzan.
Namun meski demikian mayoritas ulama kontemporer membolehkan transfer uang antar negara. Karena sekalipun fisik uang tidak diberikan pihak bank kepada nasabah pada saat itu juga, akan tetapi pembukuan oleh pihak bank untuk penerima dan penyerahan salinannya kepada nasabah itu dilakukan pada saat itu dan dapat dianggap sebagai pertukaran dua mata uang secara tunai. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pencatatan di rekening nasabah dan pembaruan nominal di dalamnya dianggap transaksi tunai. Dengan demikian transaksi ini tidak termasuk riba bay’i.
Lembaga yang membolehkan
Kebolehan mengirim uang antarnegara dengan mata uang berbeda disebutkan oleh beberapa lembaga keuangan islam internasional. Berikut adalah beberapa lembaga yang membolehkan tersebut.
Pertama ialah Majma’ Fiqh Islami yang dalam Keputusan no. 84 tahun 1995 menyebutkan: Apabila mata uang yang diserahkan nasabah kepada bank untuk ditransfer berbeda dengan mata uang yang diterima penerima maka prosesnya terdiri dari akad sharf (penukaran dua mata uang berbeda) dan transfer. Sharf atau penukaran mata uang itu dilakukan sebelum akad transfer dengan cara nasabah menyerahkan sejumlah uang ke bank, lalu bank mencatat dalam pembukuannya untuk diberikan ke penerima setelah disepakati nilai tukar yang tertera pada slip transfer, lalu salinan slip transfer diserahkan kepada nasabah, kemudian ditransfer.
Kedua AAOIFI dalam pasal satu tentang Al-Mutajarah Fil Umulat, ayat 2/11, yang berbunyi: Boleh melakukan transaksi transfer mata uang yang berbeda dari mata uang yang diserahkan nasabah kepada bank. Transaksi ini terdiri dari sharf (penukaran valuta asing) dengan serah terima fisik uang tunai ataupun dianggap tunai, di mana fisik uang diserahkan untuk dicatat oleh bank dalam pembukuannya, kemudian ditransfer dalam bentuk mata uang yang sudah ditukar. Lembaga keuangan islam dibolehkan menarik komisi dari nasabah atas jasa transfer yang dilakukan.
Ketiga ialah Lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, nomor fatwa: 4721, yang berbunyi: Boleh mentransfer uang kartal sebuah negara kepada uang kartal negara lain, sekalipun nominal dua uang kartal tersebut berbeda, karena jenis kedua uang berbeda dengan syarat serah-terima terjadi tunai di majelis. Penerimaan cek atau slip bukti transfer (dari bank) hukumnya sama dengan menerima fisik uang yang telah ditukar tunai di majelis.
Wallahu A’lam, pendapat yang membolehkan transaksi transfer valuta asing lebih kuat karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa pencatatan dalam pembukuan bank atas nama nasabah dan si penerima dianggap sama dengan serah terima fisik uang secara langsung karena keduanya sama-sama terjadi perubahan nominal dan angkanya.