Puasa Ramadhan diwajibkan bagi kaum muslimin dan merupakan rukun Islam yang harus ditunaikan. Namun bagi orang-orang tertentu mereka diberi keringanan tidak berpuasa.
Di antara yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa adalah ibu hamil dan menyusui. Mereka diberikan keringanan tidak berpuasa apabila mereka merasa khawatir dengan kondisi dirinya atau pun anak dan janin yang dikandungnya. Hal itu karena anak hanya memakan apa yang dimakan ibunya dan jika ibunya puasa maka dia tidak mendapat makanan apa-apa.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. An-Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Namun sekalipun ulama sepakat ibu hamil dan menyusui dibolehkan tidak berpuasa, akan tetapi kafarat atau tebusan apa yang harus dilakukannya, apakah menggantinya dengan puasa di hari lain, atau membayar fidyah atau bagaimana? Ternyata para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.
Pendapat pertama
Menurut Mazhab Hanafi ibu hamil dan menyusui itu seperti orang yang sakit. Apabila mereka tidak berpuasa Ramadhan, maka wajib mengqadha puasanya saja dan tidak perlu membayar fidyah.
Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid, dan juga Abu Tsaur mengungkapkan pendapat ini. Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah: 184)
Menurut Imam As-Sarkhasi seorang ulama yang bermazhab Hanafi menyebutkan dalam Al-Mabsuth, ketika wanita hamil atau menyusui itu meninggalkan puasa karena dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. An-Nasai no. 2274). Artinya dia dibolehkan tidak berpuasa karena kesulitan yang menimpanya dan kesulitan ini menjadi udzur seperti halnya safar. Dan karena itu bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha tanpa harus membayar fidyah.
Pendapat kedua
Mazhab Maliki membedakan hukum puasa bagi ibu menyusui dan wanita hamil. Bagi ibu hamil yang tidak berpuasa maka kewajibannya hanya qadha, sedangkan bagi ibu menyusui yang tidak puasa maka kewajibannya qadha dan membayar fidyah.
Imam Malik menyebutkan dalam kitabnya Al-Mudawwanah sebagai berikut: Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga mampu menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewa ibu susuan bagi bayinya. Tapi jika sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka, di mana dia harus mengqadha dan membayar fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, yaitu satu mud untuk setiap orang miskin.
Adapun bagi wanita hamil maka kewajibannya tidak membayar fidyah, akan tetapi kalau dia telah sehat dan selesai melahirkan maka dia hanya wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan. Imam Malik lalu menjelaskan alasan kenapa keduanya dibedakan. Ibu hamil dianggap sebagai perempuan yang sakit sehingga diwajibkan qadha seperti orang sakit, sedangkan wanita yang menyusui sebenarnya tidak lemah atau tidak sakit seperti wanita hamil sehingga diwajibkan qadha dan bayar fidyah.
Pendapat ketiga
Madzhab Syafi’i justru membedakan hukumnya tergantung dari sisi mengapa ibu menyusui dan wanita hamil itu tidak berpuasa. Apakah sebab khawatir terhadap dirinya saja atau khawatir terhadap bayinya.
Dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ disebutkan bahwa yang termasuk orang yang boleh tidak puasa adalah wanita hamil dan ibu menyusui. Jika wanita hamil dan ibu menyusui khawatir terhadap dirinya maka wajib qadha puasa tanpa membayar fidyah. Namun jika khawatir terhadap bayinya saja maka wajib qadha dan wajib fidyah. Yaitu 1 mud setiap harinya. Jika wanita hamil dan ibu menyusui tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya dan bayinya sekaligus maka kewajibannya hanya qadha puasa. Namun jika bumil dan busui dia kuat untuk puasa mamun sengaja tidak puasa karena sebab khawatir terhadap bayinya maka kewajibannya adalah qadha puasa dan bayar fidyah.
Pendapat keempat
Pendapat keempat adalah pendapat mazhab Hambali. Pendapat mazhab Hambali kurang lebih sama dengan pandangan mazhab Syafi’i. Yaitu jika wanita hamil dan menyusui tidak puasa karena khawatir kepada keadaan dirinya maka kewajibannya hanya qadha puasa. Jika wanita hamil dan ibu menyusui tidak puasa karena khawatir kepada dirinya dan bayinya sekaligus maka kewajibannya juga hanya qadha puasa. Namun jika ibu hamil dan ibu menyusui tidak puasa karena khawatir pada bayinya sedangkan dirinya merasa mampu dan kuat maka kewajibannya dobel yaitu qadha dan bayar fidyah. Dari sekian mazhab ini masing-masing dilandaskan pada dalil yang sama namun berbeda dalam metode penyimpulan hukum. Kita sebagai warga Indonesia maka lebih dianjurkan mengambil pendapat mazhab Syafi’i karena merupakan mazhab yang mayoritas, namun jika kita mau mengambil mazhab lain maka tidak mengapa. Wallahu A’lam.