Saat sedang berangkat ke tempat kerjaan dengan sepeda motornya, Budi seketika menyeletuk setelah melihat mobil melintas, “enaknya kalau saya punya mobil pasti akan bahagia sekali,”.
Di saat yang sama, ada seorang pengguna sepeda pun mengatakan seperti halnya Budi, “andaikan saya punya sepeda motor, pasti tidak akan secapai ini untuk berangkat kerja,”. Di saat yang sama pula ada seorang pejalan kaki mengucapkan hal yang sama, “seandainya saya ada sepeda, pasti saya tidak perlu bersusah payah lagi,”.
Hal yang demikian seringkali terjadi dalam kehidupan kita, semua berawal dari membandingkan akan sesuatu. Hingga kemudian muncullah keluhan. “Andai saya bisa seperti itu,” dan lain sebagainya. Disisi lain ia lupa, nikmat lain yang ada pada dirinya seringkali tidak terdeteksi oleh diri sendiri. Bahkan dari apa yang dimilikinya merupakan hal yang didambakan oleh banyak orang. Ia lupa jika dirinya punya banyak sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Ia lupa bahwa di luar segala sesuatu yang ia dambakan, sudah banyak sesuatu yang ia dapatkan.
Bahaya Kufur Nikmat
Sikap kurang syukur bisa membuat hati gersang dan buta, jauh dari sikap syukur dan malah menjerumuskan pada kekufuran. Padahal barang siapa yang senantiasa mensyukuri apa yang ia miliki, maka sikap syukurnya itu akan menjadi pengundang nikmat-nikmat lain yang belum ia miliki. Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Kita sudah sering diingatan tentang bahaya sikap kufur nikmat. Salah satu kisah yang paling masyhur adalah kisah Qarun. Sepupu dari Nabi Musa ini awalnya adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, kemudian Allah mengaruniakan harta kekayaan yang berlimpah kepadanya. Sayang sekali, ia kufur kepada Allah atas segala nikmat tersebut, sehingga ia pun merasakan akibat dari kekufurannya itu yaitu kebinasaan.
Kurang syukur bisa membuat kita tersesat dalam kegelapan dunia. Apa yang didapatkan selalu dirasa kurang dan tidak bisa dinikmati. Hati terus-menerus cemas dan gelisah memikirkan dan mengejar apa yang tidak dimiliki. Jika sifat seperti ini ada di dalam hati orang yang sangat kaya raya sekalipun, maka seterusnya ia akan merasa miskin dan sempit. Sedangkan jika rasa syukur senantiasa ada di dalam hati orang yang sangat miskin sekalipun, maka ia akan merasakan kekayaan, ketenangan, dan kelapangan.
Allah SWT berfirman, “..Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 145)
Sungguh merugi orang yang kurang syukur. Hatinya terus diliputi dengan kecemasan dan kegelisahan karena tidak yakin pada jaminan Allah. Ia pun rugi karena lisannya jauh dari memuji Allah, karena lisannya sudah disibukkan dengan keluh kesah yang tak ada ujungnya. Ia juga rugi karena hampa dari peningkatan ibadah kepada Allah, ia lebih sibuk dengan mengejar dunia tanpa berpegang pada Dzat Yang Maha Memiliki segalanya di dunia ini.
Orang yang kurang syukur itu bukan tidak tahu jika segala kenikmatan di dunia ini adalah dari Allah. Hanya saja ia tidak sungguh-sungguh meyakininya. Keyakinan yang kurang ini akan berpengaruh pada caranya berpikir dan bertindak. Kita harus mewaspadai kekurang yakinan pada Allah seperti demikian, karena kalau dibiarkan ia akan semakin besar dan mendominasi hati kita hingga kita menjadi makhluk yang kufur pada Allah SWT.
Allah berfirman, “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. an-Nahl [16]: 83). Semoga kita termasuk orang-orang yang pandai syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karuaniaNya.