Pernahkah kita menemukan seorang anak yang sering sakit dan kurus kering lalu dianggap oleh orangtuanya karena keberatan nama dan mereka pun segera mengganti namanya?
Ya dalam masyarakat Jawa memang ada istilah keberatan nama atau kabotan jeneng. Dalam kepercayaan ini mereka meyakini bahwa nama yang terlalu berat dapat menyebabkan seseorang sering sakit, membuat hidupnya sial dan jauh dari keberuntungan.
Dalam masyarakat Jawa nama diyakini mengandung nilai dan makna serta kekuatan yang harus disesuaikan dengan pemiliknya. Jika seseorang diberi nama yang tidak sesuai, atau dia tidak mampu memikul nama tersebut karena adanya ketidakcocokan, maka kesialan dan kesengsaraan akan mengintai hidupnya.
Oleh karena itu mereka segera mengganti nama anak apabila mendapatinya sering sakit, yaitu dengan meminta bantuan orang yang ditokohkan supaya diberikan nama yang cocok dan sesuai dengan anaknya supaya membawa keberkahan dan keberuntungan hidupnya.
Mitos dan khurafat
Dalam syariat Islam tidak dikenal istilah keberatan nama, apalagi kepercayaan bahwa nama mengandung kekuatan dan nilai yang hanya bisa diberikan ke orang tertentu saja. Apabila nama itu disandang orang yang tidak berhak maka dia akan sial dan penyakitan.
Kepercayaan ini adalah mitos dan khurafat yang harus ditinggalkan, khususnya oleh umat Islam. Kaum muslimin tentu hanya berpedoman kepada al-Quran dan Hadits dalam keyakinan dan kehidupannya. Apabila suatu kepercayaan tidak berdasarkan keduanya, maka kewajiban seorang muslim harus meninggalkannya dan bertaubat kepada Allah dan menjauhinya.
Penggantian nama dalam islam
Dalam agama Islam memang terdapat anjuran mengganti nama, namun tidak dikarenakan alasan keberatan nama, atau ketidakmampuan seseorang untuk menyandang nama tersebut sehingga dia sering sakit-sakitan dan tertimpa kesialan. Akan tetapi penggantian nama dalam Islam ialah mengganti nama yang bermakna buruk dengan nama-nama yang baik. Ibnu Umar menceritakan bahwa salah satu putri Umar bin Khatab ada yang bernama Ashiyah (wanita pembangkang). Kemudian nama tersebut diganti oleh Nabi SAW dengan nama Jamilah (wanita yang cantik). (HR. Ahmad).
Dalam hadis Usamah bin Akhdari, ia berkata, “Ada seseorang bernama Ashrom datang bersama sekelompok orang kepada Rasulullah SAW, Beliau SAW lantas bertanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Ashrom”. Beliau bersabda, “Sekarang namamu berganti menjadi Zur’ah.” (HR Abu Daud nomor 4954 Syekh Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Alasan Rasulullah SAW mengganti nama orang tersebut karena Ashrom memiliki arti terpotong atau melarat sedangkan Zur’ah artinya tumbuh atau subur.
Penggantian nama dalam Islam juga dilakukan apabila sebuah nama mengandung sanjungan dan pujian terhadap diri sendiri sehingga dikhawatirkan menimbulkan ujub. Abu Hurairah menyebutkan bahwa dulu Zainab bernama Barrah (wanita yang sangat baik) lalu orang-orang berkomentar: dia menyucikan dirinya sendiri. Kemudian Rasulullah SAW mengganti namanya dengan Zainab. (HR. Bukhari)
Jadi penggantian nama dalam Islam dikarenakan kandungan nama tersebut yang melanggar dan tidak sesuai syariat, seperti nama yang bermakna keburukan, mengandung kesyirikan, memuat pujian dan penyucian diri sendiri yang berlebihan, atau nama-nama setan dan kaum kafir yang bertentangan dengan agama Islam.
Mengganti nama karena kesembuhan
Adapun mengubah nama dalam rangka mendapatkan kesembuhan, atau supaya dia tidak sakit-sakitan, maka hal ini tidak ada contohnya dalam agama Islam. Lajnah Daimah memfatwakan: “Pada dasarnya mengubah nama hukumnya boleh. Terutama ketika diganti dengan nama yang lebih baik. Nabi SAW pun telah mengganti nama sebagian sahabatnya. Akan tetapi mengubah nama untuk pengobatan karena sakit, adalah perbuatan yang tidak dibolehkan. Karena ini berawal dari keyakinan yang menyimpang, yang tidak ada dalam syariat, juga tidak terbukti secara ilmu kedokteran, yang menyebutkan bahwa itu termasuk sebab untuk menyembuhkan orang sakit. Wallahu A’lam.