Air mani atau sperma adalah cairan yang keluar dari alat kelamin yang dibarengi ejakulasi. Lalu apa hukum air mani? Suci atau najis?
Setelah baligh dan menikah, seseorang kadang mendapati ada cairan yang keluar dari kemaluannya yang berbeda dengan air kencing. Cairan tersebut tepatnya adalah mani yang keluar dibarengi syahwat dan ejakulais. Mani bisa keluar ketika seseorang bermimpi, dan kadang keluar ketika berhubungan badan.
Karena keluarnya ketika tertidur dan berjimak, mani bisa mengenai celana dan pakaian. Kadang seseorang tidak sadar bahwa celana yang dipakainya terdapat sisa noda mani yang belum bersih. Lalu celana tersebut dipakainya ke masjid untuk shalat. Di sini kita bertanya, apakah shalatnya sah atau tidak karena adanya mani? Dan apakah status hukum mani?
Mani suci atau najis?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mani antara suci ataukah najis. Kelompok pertama terdiri dari mazhab Hanafiyah, dan Malikiyah menyebutkan bahwa mani hukumnya adalah najis. Jika mani mengenai anggota tubuh atau pakaian maka wajib disucikan. Hanya saja, menurut Abu Hanifah, jika sperma itu sudah kering, cara menyucikannya cukup dikerik (digosok). Sedangkan menurut Malik dan Auza’i, cara menyucikannya adalah dengan membasuhnya (mencucinya), baik sperma tersebut dalam keadaan masih basah atau sudah kering.
Sedangkan kelompok kedua terdiri dari mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa mani itu suci. Artinya jika mani mengenai pakaian dan celana maka tidak mengapa, namun cukup dihilangkan dan dibersihkan supaya tidak kotor. Pendapat ini juga pendapat beberapa shahabat seperti Ibnu Abbas, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Aisyah.
Penyebab perselisihan ulama
Dalam kitab Atsarul Ikhtilaf fil Qawa’id Ushuliyah disebutkan bahwa sebab perbedaan ulama tentang status mani ialah karena adanya perbedaan dalil dan pertentangan pemahaman tentang menggunakan dalil dan cara beristidlal.
Bagi kelompok pertama yang menghukumi mani najis berdalil dengan hadits riwayat Umrah dan Aisyah di mana Aisyah menyebutkan: “Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika ia kering, dan mencucinya (membasuhnya) jika ia basah.” (HR. Daruquthni)
Hadits ini menyebutkan bahwa Aisyah mengerik atau mencuci pakaian Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terkena sperma. Perbuatan ini mengindikasikan bahwa sperma adalah najis. Sebab jika sperma itu suci, Aisyah tidak akan mengeriknya. Perbuatan Aisyah tersebut dilakukan berkali-kali sehingga kemungkinan besar Nabi mengetahuinya, tetapi membiarkannya, sebagai pertanda beliau menyetujuinya.
Di samping hadits ini, kelompok pertama juga berpedoman dengan dalil lain termasuk dalil akal, yaitu adanya sperma yang keluar dari lubang yang sama dengan keluarnya air kencing. Jika air kencing tersebut dihukumi najis, maka lubangnya pun menjadi najis. Dan jika lubangnya najis maka sperma juga dihukumi najis karena terkena najisnya lubang air kencing.
Sedangkan kelompok kedua berpegangan dengan hadits riwayat Aisyah juga, dimana ia menyebutkan: “Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kemudian ia shalat dengan pakaian itu.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa Aisyah hanya mengerik sperma dari pakaian Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mau digunakan untuk shalat. Ini menunjukkan kalau sperma tidaklah najis. Karena jika sperma itu najis maka cara mensucikannya tidak hanya dengan mengeriknya karena pasti bekasnya tidak hilang dengan sempurna, namun dengan membasuhnya dan mencucinya dengan air sebagaimana mensucikan pakaian yang terkena darah, air kencing atau sebagainya.
Bantahan antar dalil
Kelompok pertama membantah cara pendalilan kelompok kedua dengan kaidah ushuliyah. Menurut mereka dalil yang dipakai kelompok kedua bertentangan dengan dalil yang dipakai kelompok pertama, di mana kelompok pertama menajiskan, sedangkan kelompok kedua mensucikan. Jika terjadi pertentangan seperti ini maka jalan keluarnya ialah mengedepankan pendapat yang menajiskan demi ihtiyath atau kehati-hatian. Kaidahnya menyebutkan: Jika terjadi pertentangan antara dalil yang membolehkan dengan dalil yang mengharamkan, maka dalil yang mengharamkan didahulukan dari pada dalil yang membolehkan.
Namun kelompok kedua membantah adanya pertentangan antara dalil-dalil tersebut, karena yang ada justru kedua hadits tersebut bisa dikompromikan dan dipahami secara bersamaan (al-jam’u bainal adillah), yaitu mengerik sperma yang disebutkan dalam hadits pertama itu dalam rangka membersihkan karena tabiat manusia tidak menyukai bekas sperma, bukan karena ingin mensucikannya, sebab tidak akan cukup mensucikan najis dengan hanya mengeriknya.
Kelompok kedua juga membantah dalil akal kelompok pertama yang menyebutkan sperma najis karena sama-sama melewati lubang qubul yang najis. Hal itu karena sekalipun sperma keluar dari tempat yang sama dengan air kecing maka tidak lantas membuat statusnya najis karena ada beberapa hal yang keluar dari tempat najis tersebut namun tetap suci, seperti kentut, dan janin manusia. Semuanya itu dianggap suci padahal keluar dari tempat najis.
Kesimpulan
Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat yang menegaskan kesucian sperma merupakan pendapat yang kuat. Karena, jika sperma dihukumi najis maka untuk menyucikannya tidak cukup dengan mengeriknya, melainkan harus mencucinya. Wallahu A’lam.