Hukum Plagiat dalam Islam

Share This Post

Bagaimanakah hukum plagiat dalam Islam? Kalau mengambil barang jelas haram, tapi kalau mengambil hasil pemikiran apakah juga haram?

Plagiat ialah mengambil hasil pemikiran, uslub bahasa, hasil perenungan, hasil eksplorasi penelitian yang merupakan milik orang lain tanpa menyebutkan nama pemiliknya.

Kalau mengambil barang jelas haram, tapi mengambil hasil pemikiran dan karya apakah juga diharamkan? Sebagian orang berpendapat hal itu tidak haram karena apa yang dilakukannya tersebut hanya untuk Allah, bukan untuk mendapat pengakuan dan sanjungan orang lain. Justru kalau dia melakukannya karena ingin dapat sanjungan, maka hasil pekerjaannya jadi tidak berpahala dan sia-sia.

Namun mayoritas orang lain mengatakannya haram karena itu bukan miliknya, tapi milik orang lain. Dia tidak bisa seenaknya mengambil dan menggunakan tanpa seizin pemiliknya. Lalu bagaimanakah hukum plagiat sebenarnya dalam Islam?

Hukum Plagiat Menurut Ulama

Masalah plagiat atau mengambil hak paten orang lain dengan menirunya dan memanfaatkannya merupakan masalah baru yang belum ditemukan pembahasannya dalam karya ulama-ulama terdahulu. Karenanya para ulama yang berselisih ialah ulama kontemporer saja dengan berdalil al-Quran dan hadits, atau mengambil ibrah dari perkataan ulama salaf.

Dalam masalah ini para ulama setidaknya terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama ialah yang membolehkan, yaitu Dr. Ahmad al-Hajji al-Kurdi dan kelompok yang kedua yang mengharamkan, yaitu Ustadz Mushthafa Zarqa, Dr. Muhammad Fathi Ad-Darini, dan Dr. Wahbah Zuhaili.

Dalil Setiap Kelompok

Kelompok pertama yang membolehkan plagiat berdalil dengan beberapa hujah. Pertama bahwa meneliti dan menyusun kitab tentang ilmu yang bermanfaat merupakan ketaatan dan ibadah yang dilakukan seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Allah ta’ala.

Maka dia tidak sepatutnya mengharap dari ibadahnya itu sesuatu apa pun, termasuk hak milik dari kitabnya, kecuali hanya pahala semata. Karena itu para ulama terus menulis dan mengarang kitab, tapi tidak menggantungkan hidupnya dari menulis kitab, tapi hanya mengharap pahala Allah semata. Sebab mereka punya jalan maisyah (mata pencaharian) sendiri baik melalui produksi barang, hadiah dari raja atau baitul mal.

Juga dalam ayat-Nya, Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Kitab (al-Quran), mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (QS. Al-Baqarah: 159)

Baginda Nabi SAW bersabda: “Barang siapa menutupi suatu ilmu yang dia ketahui tentangnya maka dia akan diikat pada hari Kiamat dengan ikatan dari api neraka.” (HR. Ibnu Hibban)

Maka apabila seorang pengarang, penulis atau yang lainnya menolak untuk disebarkan ilmunya dan lebih memilih disembunyikan, termasuk tidak ridha jika diplagiat atau dicomot karyanya, maka dia masuk dalam ancaman hadits ini dan dikategorikan sebagai kitmanul ilmi (menyembunyikan ilmu).

Kelompok kedua juga punya dalil dan hujahnya sendiri. Pertama bahwa manfaat dalam karya ilmiah sama kedudukannya dengan manfaat dalam barang dan harta. Karena karya ilmiah dan barang yang dipergunakan adalah manfaatnya. Maka kalau manfaat barang punya kehormatan di mana tidak boleh dicuri, dighasab atau dipergunakan tanpa seizin pemiliknya, maka manfaat karya ilmiah juga demikian.

Kedua bahwa para ulama di zaman dahulu kebanyakan mendapatkan hadiah dan pemberian dari para khalifah, raja dan hakim daerahnya atas fatwa mereka terhadap suatu masalah, atau karena kesungguhan mereka dalam mengajar di masjid dan perkumpulan, atau karena karangan mereka terhadap suatu kitab seperti kitab Gharibul Mushonnaf karangan Abu Ubaid al-Qasim pada masa Amir Abdullah bin Thahir yang mendapatkan hadiah seribu dinar. Kemudian dia membuat kitab Gharibul Hadits dan menghadiahkannya kembali, maka Amir Abdullah bin Thahir berkata: “Sesungguhnya akal yang digunakan pemiliknya untuk menulis untuk kitab ini pasti sudah menyibukkannya untuk bekerja dan mencari penghidupan.” Maka dia memberikannya setiap bulan 10 ribu dirham.

Dan masih banyak lagi karangan ulama dahulu yang diganti atau ditukar dengan hadiah dan pemberian khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa karya ilmiah tersebut punya kedudukan sama dengan barang dan harta sehingga keduanya sama-sama punya kehormatan. Dan hal ini sama sekali tidak mengurangi keikhlasan niat para ulama tersebut karena mereka saat pertama membuat kitabnya bukan berniat supaya dapat hadiah tapi hanya untuk Allah.

Ketiga adalah kaidah yang dibuat para ulama menyebutkan: al-ghanmu bil ghurmi, yang artinya seseorang dapat balasan karena usahanya. Allah ta’ala pada hari Kiamat akan menanyakan manusia bagaimana ucapan yang keluar dari lidahnya dan bagaimana amal yang dilakukan tangannya. Begitu pun pembuat suatu karya, dia akan ditanyai tentang karya buah olah tangan dan fikirannya tersebut. Karena itu dia adalah satu-satunya pemilik dari karya karangannya itu sehingga dia boleh menggunakannya termasuk melarang orang lain meniru-nirunya.

Keempat bahwa hak cipta suatu karya pada saat ini sudah dibakukan dan dilindungi. Ini merupakan urf atau keumuman yang sudah tersebar di seluruh dunia. Lalu sifat syariat islam mudah mengakomodasi urf dan mengikutinya selama tidak bertentangan dengan dalil. Dan dalam al-Quran dan sunah tidak ada dalil yang melarang pelindungan hak cipta, sehingga pelindungan hak cipta juga masuk dalam syariat Islam berdasarkan urf.

Kesimpulan Setelah pemaparan kedua pendapat dan pemaparan dalil-dalilnya maka jelas bahwa pendapat kedua yang unggul, yaitu haramnya plagiat dan mencomot hasil karya milik orang lain. Jika seseorang mau mengambil milik orang lain, maka harus menyertakan sumber dan pembuatnya.

More To Explore

Bersama Koinmu,
Darul Hisan Hadir untuk Ummat