Pembahasan tentang sholat musafir selalu menarik untuk diketahui, terutama berkaitan dengan tatacara sholatnya, karena didalam musafir ada keringanan yang diberlakukan Allah SWT kepada hambanya untuk meringkas ibadah yang paling utama, yaitu sholat.
Pada edisi yang lalu sudah dibahas tentang khilafiyah atau perbedaan pendapat diantara ulama tentang hukum meng-qashar sholat dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dan untuk edisi ini akan dibahas khilafiyah atau perbedaan pendapat ulama tentang jarak yang membolehkan seorang musafir melakukan sholat qashar.
Batasan jarak
Sebagaimana diketahui para ulama berbeda pendapat tentang batasan jarak yang diperbolehkan untuk meng-qashar sholat ketika musafir. Mayoritas ulama madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa jarak minimal seorang musafir boleh melakukan qashar sholat adalah 4 burud. Burud adalah ukuran jarak yang dipakai pada masa lalu yang setara dengan 4 farsakh. Dan farskah juga merupakan ukuran jarak yang jika diakumulasikan di zaman sekarang setara dengan 3 mil. Jadi pendapat ini membolehkan sholat qashar bagi musafir bila perjalanan minimal mencapai jarak 4 burud, atau 16 farsakh atau 48 mil. Dan jika dikalkulasikan dengan kilometer dimana 1 mil sama dengan 1,609 kilometer, maka minimal diperbolehkan meng-qashar sholat kira-kira 78 kilometer.
Berbeda dengan ulama Hanafiyah, mereka berpendapat bolehnya seorang musafir untuk melakukan sholat qashar adalah apabila perjalanan itu menempuh waktu hingga 3 hari 3 malam, selama perjalanannya tidak menempuh 3 hari 3 malam maka belum boleh untuk qashar sholat.
Dan terakir adalah pendapat Ibnu Hazm yang diikuti oleh Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa hak musafir melakukan sholat qashar, terlepas dari apakah ia melakukan perjalanan panjang atau pendek, dan terlepas dari lebih tiga hari atau bahkan tidak sampai sehari.
Argumen
Perbedaan pendapat diantara ulama tentang jarak tertentu yang boleh bagi musafir melakukan sholat qashar, bermuara pada dua hal, yang pertama berpijak pada aspek beratnya musafir melakukan perjalanan sehingga perlu diberikan keringanan dengan meringkas sholat atau qashar, dan aspek keumuman dalil.
Sebagaimana dijelaskan diatas, ulama dari madzhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah mendasarkan aspek beratnya musafir sebagaimana beratnya perjalanan ketika orang berpuasa, yaitu dimulai pada jarak 4 burud atau sekitar 78 km. Tentu bisa dipahami pada masa itu jarak sedemikian termasuk jauh yang bisa ditempuh hampir 20 jam dengan berjalan. Sedangkan naik unta atau kuda dengan beban, bisa memakan waktu setengah hari. Jarak 4 burud ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Bukhari
“Adalah Ibnu Umar dan Ibnu abbas meng-qashar sholat dan tidak puasa ketika mereka melakukan safar yang menempuh perjalanan sejauh 4 burud.” (Bukhari)
Demikian pula ulama madzhab Hanafiyah yang berpijak pada aspek beratnya perjalanan jika ditempuh selama 3 hari, sehingga mereka mendasarkan bolehnya meng-qashar sholat bagi musafir apabila menempuh perjalanan 3 hari 3 malam. Pendapat ini didasarkan sebagaimana beratnya seorang musafir yang melakukan perjalanan 3 hari 3 malam, sehingga sampai-sampai dibolehkan tidak membuka khuf.
“Dari Ali bin Abi Thalib ra. : “Rasulullah saw. menjadikan 3 hari 3 malam bagi orang yang musafir (untuk mengusap khuf), dan sehari semalam bagi yang mukim.” (Muslim)
Adapun pendapat yang ketiga, yang menyatakan bahwa setiap musafir boleh melakukan sholat qashar, mendasarkan pendapatnya pada keumuman dalil, terlepas dari jaraknya pendek atau jauh, pokoknya sepanjang seseorang bepergian keluar dari daerahnya menuju kota lain maka ia termasuk musafir dan boleh qashar.
“Dari Yahya bin Yazid, ia bertanya kepada anas bin Malik tentang sholat qashar, Anas bin Malik berkata : “Adalah Rasulullah SAW itu ketika keluar sejauh tiga mil atau tiga farsakh (Syu’bah ragu), maka beliau meng-qashar sholat, beliau sholat dua rakaat.” (Ahmad)
Tidak ada dalil yang membatasi
Terlepas dari perbedaan pendapat diantara ulama sebagaimana diatas, sebenarnya tidak ada dalil yang memberikan batasan jarak kepada musafir yang membolehkan qashar sholat, baik jarak panjangnya atau jarak harinya. Allah dan Rasul-Nya tidak menurunkan dalil yang jelas tentang jarak musafir untuk sholat qashar. Dalil-dalil yang ada tidak menyebutkan jarak, tetapi menyebutkan kebolehan atau keringanan meng-qashar sholat ketika musafir.
“Dan apabila kamu bepergian dimuka bumi, maka tidak dosa bagimu untuk meng-qashar shalat jika kamu takut diserang oleh orang-orang yang kufur. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. 4 : 101)
“Sesungguhnya Allah meringankan puasa bagi musafir dan setengah dari sholat.” (Abu daud)
Dan hampir semua dalil yang membolehkan meng-qashar sholat redaksinya tak jauh dari redaksi diatas, dalam arti tidak secara eksplisit memberikan batasan tentang jarak sekian dan sekian. Adapun para ulama yang berpendapat dengan memberi batasan jarak dan hari, mendasarkan pendapat mereka para perilaku kebanyakan para sahabat dalam mengaplikasikan qashar sholat.
Pilihan
Para ulama yang mengambil sikap dengan memberi batasan jarak atau batasan jumlah hari bagi musafir untuk qashar sholat tentu dalam berpertimbangan mengedepankan sikap kehati-hatian agar umat islam yang bepergian tidak menyepelekan dan menggampangkan ibadah, apalagi banyak sahabat yang mengambil sikap ini, maka sikap seperti ini patut kita jaga dan apresiasi.
Hanya saja sifat dan jenis bepergian seseorang dengan orang lain itu bisa berbeda satu dengan yang lain, meskipun seseorang bepergian dari satu kota ke kota lain dengan jarak yang tak terlalu jauh atau tidak memakan waktu yang lama, terkadang musafir tersebut benar-benar merasa berat atau kerepotan karena berbagai persoalan yang kadang tidak disangka-sangka. Maka memilih keumuman dalil tentang bolehnya musafir melakukan qashar sholat meskipun jaraknya tak terlalu jauh atau tak memakan waktu berhari-hari, adalah hal yang tepat.
Jadi, seseorang perlu menentukan pilihan pendapat dari madzhab mana yang akan ia ambil dalam menyikapi persoalan qashar musafir, agar dalam menerapkan hukum-hukum musafir didalam qashar sholat bisa diterapkan. Akan tetapi persoalan boleh atau tidaknya qashar ini menjadi tidak berlaku ketika musafir tersebut menjadi makmum, karena ia terikat dengan hukum-hukum berjamaah. Maksudnya, apabila imam sholat tamm (lengkap) maka ia wajib mengikuti imam sholat tamm, meskipun ia musafir.