Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh kabar bahwa produk-produk seperti tuak, wine, beer, dan bahkan “tuyul” mendapatkan sertifikat halal. Kabar ini langsung viral di berbagai media sosial, menimbulkan reaksi beragam, dari keheranan hingga kecaman. Banyak yang mempertanyakan, bagaimana bisa minuman beralkohol dan “tuyul,” yang secara tradisional dianggap tidak sesuai dengan prinsip halal, justru mendapatkan sertifikat tersebut?
Menurut penjelasan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag sebagai badan pemegang otoritas pemberian sertifikasi halal, persoalan ini sebenarnya bukan tentang produk-produk tersebut secara harfiah. Nama-nama seperti tuak, beer, wine, dan tuyul yang muncul dalam daftar sertifikasi halal ternyata hanyalah nama produk atau merek dagang, yang dalam proses produksinya benar-benar mengikuti standar halal.
Namun MUI sendiri memiliki pandangan berbeda terkait hal ini. Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh menyatakan bahwa, penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI. Dia menekankan, seharusnya penetapan halal produk harus sesuai dengan standar halal yang ditetapkan MUI. Dia menyampaikan, Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan. Maka otomatis ini menjadi blunder bagi BPJPH Kemenag.
Dalam penulusran oleh MUI, ternyata sejumlah produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur Self Declare, atau tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI. Untuk itu MUI lepas tangan atas kasus ini.
Lantas bagaimana dengan produk bernama “tuyul”? Nama ini tentu menjadi yang paling aneh di antara yang lain, mengingat “tuyul” biasanya merujuk pada sosok mistis dalam budaya Indonesia. Dalam kasus ini, nama “tuyul” digunakan sebagai merek dagang untuk sebuah produk tertentu yang ternyata tidak ada kaitannya dengan hal-hal mistis. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa dalam dunia bisnis, penamaan produk bisa sangat bervariasi dan kadang-kadang menimbulkan ambiguitas atau bahkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat.
Secara keseluruhan, kasus sertifikat halal untuk tuak, beer, wine, dan tuyul menunjukkan betapa pentingnya komunikasi yang jelas antara pelaku bisnis, lembaga sertifikasi, dan masyarakat. Nama produk memang bisa menjadi isu yang sensitif, terutama ketika berhubungan dengan norma-norma agama. Semoga dengan adanya klarifikasi ini, masyarakat bisa lebih memahami konteks dari berita yang viral dan tidak mudah terjebak dalam kesalahpahaman.
Untuk masa depan, tantangan bagi produsen yang ingin memasarkan produknya ke konsumen Muslim adalah menemukan keseimbangan antara kreativitas dalam penamaan produk dan kepatuhan terhadap norma-norma budaya dan agama. Alangkah tidak eloknya nama yang secara umum melekat pada konotasi akan keharamannya namun justru dipakai menjadi nama produk makanan atau minuman yang bahan baku dan prosesnya halal.
Tentu ini tidak baik, yang bisa jadi ke depan akan benar-benar menjadi ambigu di kalangan masyarakat, antara produk halal dan haram. Negara perlu hadir lebih selektif dan tegas dalam rangka menjamin kenyamanan hidup masayarakatnya. Jangan kemudian muncul kesan bahwa negara abai, bahkan cenderung menyetujuinya. Semoga para pemangku kebijakan bisa menjalankan tugas-tugasnya dengan lebih amanah.